Senin, 12 Januari 2009

MENINGKATKAN PRODUKSI PADI DENGAN TEKNIK IPAT

Keterbatasan pupuk yang langka tidak membuat wajah para petani padi di Sragen murung karena panen padi yang di budidayakan dengan teknik Intensifikasi Padi Aerob Terkendali (IPAT) bisa berproduksi secara melimpah. Sebagian lahan (1 ha) yang di kelola dapat memanen 10-14 ton gabah, biasanya 6-8 ton/ha. Masa pemanenannya juga lebih cepat 7-10 hari.

Padahal sebelum panen tanah terlihat retak-retak pertanda kekurangan air. Keadaan itu sangatlah berbeda dengan teknik biasanya yang senantiasa tergenang air. Jarak tanam yang di gunakan juga lebih renggang yaitu 30x30 cm, biasanya berjarak tanam 20x20 cm. Pupuk yang digunakan juga berkurang setengah dari penggunaan pupuk biasanya.

Rahasia dari sistem budidaya teknik IPAT adalah jerami pada panen sebelumnya dibiarkan terhambur di lahan. Batang padi kemudian disiram dengan larutan pupuk organik. Pupuk yang digunakan dari campuran 200 gr mikroba pengurai (dekomposer), 160 gr pupuk hayati (pupuk mengandung mikroba pelarut fosfat), serta 5 kg kompos yang dilarutkan dalam 50-100 liter air. Campuran itu diaduk hingga merata lalu dibiarkan selama 2-4 jam sebelum disiramkan.

Seleksi Benih

Dua minggu berselang lahan dibajak lalu diratakan. Sekeliling petakan dibuat saluran dengan kedalaman 30 cm. saluran juga dibuat di tengah petakan. Jarak antar saluran 3-4 m. panjangnya saluran disesuaikan dengan ukuran lahan.

Dua hari sebelum tanam, lahan yang telah dibajak diberi pupuk dasar. Tiap satu hektar lahan diberi 1 ton pupuk kandang atau 500 kg kompos kering, 320 kg pupuk hayati, 75-100 kg KCL. Pupuk-pupuk tersebut ditabur merata di permukaan lahan.

Benih yang akan ditanam sebelumnya direndam dalam 5-10 liter larutan garam. Sebelumnya telur ayam dimasukkan ke dalam larutan untuk mengukur kadar garam. Bila telur ayam tersebut bisa mengambang berarti kadar garam cukup untuk pengujian. Larutan garam ini di fungsikan sebagai fungisida alami agar benih tidak terserang jamur.

Memasukkan benih kedalam larutan garam kemudian diaduk. Benih yang mengambang dibuang, benih yang tenggelam dibilas dengan air sampai bersih lalu disimpan dalam karung plastik. Karung yang digunakan dibasahi agar lembab untuk memacu perkecambahan. Setelah semalam benih didalam karung, keesokan harinya benih disemai dalam bedengan berketinggian 10-20 cm serta lebar 2 cm.

Pinggiran bedengan dipasang bambu atau kayu yang bisa menopang tanah agar tidak mudah hilang. Dua hari sebelum penyemaian bedengan diberi campuran 1 kg pupuk kandang kering atau kompos dan pupuk hayati. Dosis pupuk yang diberikan sesuai dengan jumlah kompos. Untuk 10 kg kompos perlu 80 gr pupuk hayati. Setelah semua terlaksana dibuat larikan dengan kedalaman 1 cm agar dalam proses penyemaian mudah dilakukan. Jarak antar larikan yang dibuat yaitu 3-5 cm.

Bibit Unggul

Proses semaian dilakukan setelah lima belas hari, bibit mulai ditanam di lahan. Bibit diambil dengan menggunakan serok dari dasar bedengan. Tanah yang ikut terambil tidak dilakukan pencucian layaknya petani konvensional. Hal itu bertujuan agar akar tidak terputus saat proses pencucian sehingga tanaman tidak mengalami stress jika dipindah ke lahan.

Saat penanaman kondisi lahan yang akan ditanami hendaknya macak-macak atau becek. Bibit yang ditanaaman posisi akar di letakakan menyamping sehingga membentuk huruf L. Masing-masing lubang tanam hanya ditanami 1 bibit. Kedalaman penanamannya maksimal 1cm.

Pada saat umur tanaman sudah 15 hari setelah tanam dilakukan pemberian pupuk susulan berupa pupuk organic cair untuk memacu pertumbuhan akar, batang, dan daun dengan dosis 2-3 cc/liter air. Pemberian pupuk itu dengan menyemprotkan keseluruh tanaman hingga merata dengan interval 10 hari hingga 35 hari setelah tanam.

Memasuki umur 35 hari setelah tanam mulai ditambahkan 500 kg pupuk kandang atau kompos kering, 320 gr inokulum, 100 kg Urea, 25 kg SP-36, dan 50 kg KCL per hektar. Saat tanaman sudah berumur 45 hari setelah tanam dilakukan penyemprotan pupuk organic cair untuk memacu pertumbuhan bunga dan buah dengan dosis 2-3 cc/liter air. Interval pemupukan selama 10 hari hingga tanaman padi berumur 65 hari.

System penanaman ini lahannya tidak perlu diganangi air. Pengairan hanya dilakukan bila kondisi tanah sudah mengalami retak-retak. Jika sudah mengalami retak-retak baru lahan tersebut diganangi air setinggi 1-2 cm dari permukaan tanah selama 1-2 jam. Baru setelah lahan terendam air selama 2 jam maka lubang pembuangan air pada lahan tersebut dibuka agar air di lahan tersebut dapat surut.

Penggenangan juga dilakukan saat penyiangan yaiti saat tanaman sudah berumur 10 haridan 20 hari setelah tanam. Ketika musim hujan lahan tak perlu digenangi, tetapi lahan dijaga agar air pada saluran tetap terjaga pada ketinggian 10-20 cm di bawah permukaan lahan. Setelah dua puluh lima hari menjelang panen lahan dikeringkan. Panen dilakukan setelah tanaman mencapai umur 100 hari setelah tanam.

Timbul Keraguan

Semuanya itu adalah penerapan penanaman padi dengan teknik Intensifikasi Padi Aerob Terkendali (IPAT) dilahan. Awal mulanya teknik ini diragukan untuk dapat meningkatkan produksi hasil padi. Oleh sebab itu baru sebagian petani yang menerapkan teknik IPAT tersebut. Oleh sebab itu baru sedikit lahan yang digunakan untuk penerapan teknik IPAT.

Keraguan itu lenyap ketika tanaman padi bisa terlihat kokoh dan kekar. Meski teknik ini hanya mananam satu bibit pada setiap lubang tanam, jumlah anakannya bisa mencapai 80-100 batang/rumpun. Setiap rumpu dihasilkan sekitar 60 malai. Panjang malai yang dihasilkan sekitar 30 cm dan memiliki rata-rata 200-300 bulir/malai. Petakan yang hanya seluas 2000 m2 bisa didapatkan produksi gabah sekitar 1,6 ton. Jumlah tersebut lebih tinggi dari panen-panen sebelumnya yang hanya sekitar 700 kg gabah.

Teknik IPAT yang begitu memberikan hasil yang nyata bagi petani mulai diterapkan pada lahan yang lebih luas. Lahan yang digunakan seluas satu hektar dapat menghasilkan produksi 10-12 ton gabah. Teknik ini juga dilakukan oleh para petani Sumedang, Jawa Barat, Kediri, Madura (Jawa Timur).

Kunci sukses teknik budidaya IPAT adalah perkembangan system perakaran. Perakaran akan tumbuh secara optimal jika ketersediaan oksigen dalam tanah cukup. Hal tersebut dapat terpenuhi jika kedaan lahan tidak tergenang. Hasil dari suatu penelitian menunjukkan penggenangan menyebabkan kerusakan pada jaringan perakaran akibat pasokan oksigen terhambat/ terbatas. Hanya 30 % akar yang dapat tumbuh dengan baik.

Pengunaan bibit tunggal dan jarak tanam yang renggang juga ikut dalam merangsang per umbuhan akar. Bila dalam satu lubang tanam ditanam lebih dari satu bibit akan menimbulkan perebutan nutrisi, sehingga pertumbuhan akar akan terhambat. Akibatnya jumlah anakan akan sedikit yaitu hanya antara 25-30 anakan setiap rumpunnya.

Kehadiran organisme menguntungkan dalam tanah juga berperan dalam meningkatkan produktivitas tanaman padi. Organisme tanah mempunyai manfaat untuk mengurai bahan organik, daur hara, memperbaiki struktur tanah, mengendalikan populasi organisme merugikan tanaman, menghasilkan berbagai fitohormon, serta merangsang pertumbuhan dan regenerasi akar. Oleh karena itu penggunaan pupuk organic sangat penting.

Menurut perhitungan penggunaan pupuk organik menambah biaya pemupukan tetapi penambahannya tidak terlalu besar. Hal ini bisa terjadi karena penggunaan pupuk anorganik seperti urea, SP-36, dan KCL berkurang setengahnya dari dosis sebelumnya. Bila setiap hektar petani bisa menggunakan 300 kg urea, 100 kg SP-36, dan 100 KCL, dengan harga masing -masing pupuk Rp 1800, Rp 2800, dan Rp 2600 untuk setiap kilogramnya maka total biaya pemupukan mencapai Rp 1080000,00. Setelah dikurangi separuh biaya pemupukan anorganik hanya Rp 540000,00 setiap hektarnya.

Biaya untuk membeli pupuk organik sekitar Rp 1,37 juta/ha. Total biaya pemupukan menjadi Rp 1,91 juta/ha. Biaya pemupukan mengalami kenaikan namun dapat diimbangi dengan peningkatan 4-6 ton gabah/ha. Jika harga jual gabah Rp 2000/kg maka petani memperoleh tambahan pendapatan sekitar Rp 8 juta-12 juta/ha.

PEMANFAATAN LIMBAH PABRIK GULA DAN ETHANOL MENJADI PUPUK ORGANIK

Penerapan cara Pertanian Organik Modern masih belum populer untuk diterapkan di negara kita, sehingga perlu pengembangan sistem Pertanian Organik yang intergeted, agar hasil dari pertaniannya bisa masuk pasar local maupun dunia (Eropa dan Amerika). Negara-negara yang pertaniannya sudah lebih maju, seperti pertanian di Negara-negara Eropa dan Amerika sudah lama meninggalkan sistem pertanian anorganik ( Kimia ) dan beralih ke pertanian yang ramah lingkungan yaitu pertanian organik.

Untuk menjaga tanaman dari hama dan pestisida kimia, perlu di kembangkan suatu Greenhouse, yang berfungsi untuk menjamin kelangsungan produksi agar tidak tergantung pada musim. Setelah Greenhouse jadi maka dilakukan penanaman percobaan yaitu menanam beberapa jenis komoditi yang di antaranya: cabe, terong, dan tomat, langsung di atas tanah seperti biasanya.

Penanaman secara organik tidak menggunakan pestisida, hal tersebut karena penanamannya juga sudah dilakukan dalam Greenhouse, dengan di cover dengan net yang bisa menahan hama Cabuk ( White fly ) pembawa virus Bemicia tabaci yang cukup sulit untuk diberatas.

Menanam di atas tanah seperti bisanya (secara konvensional) ternyata memerlukan pemupukan secara kimia yang sangat banyak di luar kewajaran secara kalkulasi ekonomi, dan dari hasilnya tidak bisa masuk katagori organik. Mengingat langkanya pupuk untuk mendapatkannya, kalaupun ada dengan harga yang sudah tidak normal atau tidak seperti harga-harga pupuk sebelumnya. Jadi dari kualitas dan harga belum bisa bersaing di pasar global atau pasar dunia.

Dengan kendala yang dihadapi itu, dapat di simpulkan bahwa untuk memperbaiki tanah pertanian dengan penambahan bahan organik yang sudah hampir hilang di seluruh areal tanah pertanian, akibat pemakaian pupuk kimia yang terus menerus (hampir 30–35 tahun), dan upaya dalam perbaikan tanah hampir tidak pernah dilakukan.

Dengan perhitungn ekonomis, perbaikan tanah pertanian memerlukan waktu dan biaya yang sangat tinggi, jadi perlu penanaman jenis komoditas seperti tadi (cabe, terong, dan tomat) di dalam polibag, menggunakan media yang umum di pakai, seperti kotoran ternak, cocopeat, arang sekam dengan campuran yang disesuaikan dengan jenis tamanan. Untuk tanaman yang hampir 22.000 tanaman/ha, diperlukan sekitar 200 ton media tanam untuk tahap pertama, selanjutnya hanya di tambah dengan interval 25 % atau 50 ton/musim tanam/ha.

Pengolahan Limbah Gula sebagai Pupuk Organik

Blotong (filter cake) merupakan limbah padat hasil dari proses produksi pembuatan gula, dimana dalam suatu proses produksi gula akan dihasilkan blotong dalam jumlah yang sangat besar. Sementara ini pemanfatan blotong, sebagai pupuk organik masih belum maksimal dan penggunanya pun terbatas. Hal ini disebabkan karena :

1. Pengolahan limbah blotong menjadi pupuk organik masih bisa dikatakan hanya asal-asalan, masih belum ditangani dengan menggunakan satu proses yang baik dan benar sehingga pupuk organik yang dihasilkan, masih belum sempurna.

2. Minimnya pengetahuan petani akan manfaat penggunaan pupuk organik dari bahan blotong.

Vinasse merupakan limbah cair yang dihasilkan dari proses pembuatan Ethanol. Dalam proses pembuatan 1 liter Ethanol akan dihasilkan limbah (vinasse) sebanyak 13 liter (1 : 13). Dari angka perbandingan di atas maka semakin banyak Ethanol yang diproduksi akan semakin banyak pula limbah yang dihasilkannya. Jika limbah ini tidak di tangani dengan baik maka di kemudian hari, limbah ini akan menjadi masalah yang berdampak tidak baik bagi lingkungan.

Salah satu cara pemanfaatan limbah ini yaitu dengan merubah vinasse menjadi pupuk organik cair dengan menggunakan metode tertentu. Hal ini mungkin dilakukan karena kandungan unsur kimia dalam vinasse sebagian besar merupakan unsur organik yang berguna dan dibutuhkan bagi pertumbuhan tanaman.

Di Indonesia penggunaan pupuk organik sangat minim dilakukan oleh petani. Hal ini dikarenakan sedikitnya produsen pupuk organik, dan minimnya pengetahuan petani tentang manfaat pengguanan pupuk organik. Dengan adanya hal tersebut di atas maka akan tepat jika limbah yang sedemikian besar tadi dimanfaatkan menjadi pupuk organik.

Limbah filter cake, abu boiler, dan vinasse merupakan bahan organik. Untuk bisa menjadi pupuk organik yang siap diaplikasikan maka diperlukan suatu proses dekomposisi bahan oleh bantuan mikoorganisme. Proses daur ulang limbah menjadi pupuk dapat dilakukan dengan menggunakan mikroorganisme secara manual. Sekitar 20-23 hari, proses thermofolik bisa tercapai, maka jadilah humus yang kandungan unsurnya cukup bagus dan berguna untuk memperbaiki struktur tanah.

Peluang Pasar

Seiring dengan kebijakan pemerintah tentang pertanian organik dan gerakan moral yang menyerukan kembalinya pemakaian bahan-bahan organik seperti untuk pupuk, pestisida dan lain-lain. Sebagai bahan dasar dalam usaha pertanian, maka kebutuhan bahan organik terutama pupuk organik menjadi semakin besar. Hal ini sangatlah beralasan karena pemakaian bahan organik pada usaha pertanian lebih menguntungkan bila ditinjau dari nilai ekonomis, keamanan, lingkungan dan kesehatan.

Meningkatnya harga dan langkanya keberadaan pupuk anorganik (kimia) di tingkat petani, maka dapat di manfaatkan sebagai langkah untuk penerapan pola pertanian secara organik. Nilai ekonomis dari pupuk organik yang terjangkau dari pemanfaatan limbah pabrik guna ini akan dapat meningkatkan permintaan pupuk secara organik. Harapannya akan banyak para petani yang beralih ke pertanian secara organik.

Akan tetapi kebutuhan pupuk organik yang terus meningkat dari tahun ke tahun tersebut tidak diimbangi dengan suplay pupuk organik yang mencukupi. Hal ini dikarenakan sedikitnya produsen atau pengolah pupuk organik yang ada di tanah air. Disamping itu bisnis pupuk organik ini dinilai kurang menguntungkan oleh produsen pupuk jika dibanding dengan pupuk kimia.

Hal tersebut sebenarnya bukan dikarenakan tidak adanya kebutuhan pupuk organik di tingkat konsumen (petani) tetapi lebih mengacu kepada ketidak-tahuan petani akan manfaat dari penggunaan pupuk organik tersebut dan keengganan pihak yang terkait untuk memberikan penyuluhan tentang hal tersebut. Pihak-pihak terkait dari pemerintah diharapkan memberikan informasi atau penyuluhan ke petani untuk bercocok tanam secara organik, hal ini dilakukan agar para petani tidak tergantung pada pupuk kimia (anorganik). Penggunaan pupuk organik dapat memberikan pengaruh positif pada tanah antara lain untuk memperbaiki sifat fisik tanah dan struktur tanah. Pemberitahuan informasi penyuluh ke petani akan meningkatkan kesadaran para petani itu sendiri, bahkan petani akan berusaha dalam pemanfaatan sumberdaya yang ada di lingkungannya untuk dijadikan pupuk organik.

Pupuk organik akan menjadi suatu bisnis yang sangat menguntungkan apabila kesadaran petani akan manfaat penggunaan pupuk organik baik jangka pendek maupun jangka panjang semakin meningkat. Hal ini dikarenakan sebagian besar penduduk Indonesia pada umumnya bermata pencaharian di sektor pertanian. Selain itu sumberdaya yang ada di sekitar nampak tidak bermanfaat akan menjadi solusi bagi para petani yang mengalami kesulitan dalam mendapatkan pupuk anorganik. Pemanfaatan sumber daya alam sekitar mampu memberikan manfaat yang lebih dan akan memberikan nilai ekonomis yang bisa diperhitungkan.

Limbah pabrik gula dan ethanol dapat bermanfaat bila dikelola dengan baik untuk dijadikan pupuk organik yang bisa menangani kelangkaan pupuk anorganik ditingkat petani. Pupuk organik dari pemanfaatan limbah gula dapat meningkatkan atau memperbaiki sifat fisik tanah yang sudah tergantung pada pupuk anorganik. Nilai ekonomis dari pupuk organik juga tinggi untuk bisa meningkatkan hasil produksi para petani.